Senin, 24 September 2012

asuhan keperawatan anak dengan hisprung


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus.
Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkay kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.
Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.
Oleh karena itu, penyakit hisprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.

B.     TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah pengetahuan kepada para pembaca khususnya kepada mahasiswa ilmu keperawatan mengenai penyakit hisprung. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi syarat dalam proses pembelajaran pada mata kuliah keperawatan anak.






BAB 11
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP DASAR
  1. Definisi Hisprung
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah, 1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).





2.      Macam-macam Penyakit Hirschprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a.       Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
b.      Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.(Ngastiyah, 1997 : 138)
3.      Etiologi Hisprung
Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)

a.         Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.
b.         Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.
(Suriadi, 2001 : 242).
4.      Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala setelah bayi lahir
a.       Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)
b.      Muntah berwarna hijau
c.       Distensi abdomen, konstipasi.
d.      Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja / pengeluaran gas yang banyak.
Karena gejala tidak jelas. Gejala pada anak yang lebih besar  waktu lahir.
a.       Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir
b.      Distensi abdomen bertambah
c.       Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling
d.      Terganggu tumbang karena sering diare.
e.       Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.
f.       Perut besar dan membuncit.
5.      Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson ).
6.      Manifestasi Klinis
a.       Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
b.      Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti pita.
c.       Obstruksi usus dalam periode neonatal.
d.      Nyeri abdomen dan distensi.
e.       Gangguan pertumbuhan.
(Suriadi, 2001 : 242)
a.       Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evaluai mekonium.
b.      Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik secara spontan maupun dengan edema.
c.       Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
d.      Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
e.       Gejala hanya konstipasi ringan.
(Mansjoer, 2000 : 380)
·         Masa Neonatal :
1.      Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
2.      Muntah berisi empedu.
3.      Enggan minum.
4.      Distensi abdomen.
·         Masa bayi dan anak-anak :
1.      Konstipasi
2.      Diare berulang
3.      Tinja seperti pita, berbau busuk
4.      Distensi abdomen
5.      Gagal tumbuh
(Betz, 2002 : 197)
7.      Komplikasi
a.       Gawat pernapasan (akut)
b.      Enterokolitis (akut)
c.       Striktura ani (pasca bedah)
d.      Inkontinensia (jangka panjang)
(Betz, 2002 : 197)
a.       Obstruksi usus
b.      Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
c.       Konstipasi
(Suriadi, 2001 : 241)


8.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
b.      Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
c.       Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
d.      Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
(Ngatsiyah, 1997 : 139)
a.       Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
b.      Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
c.       Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
d.      Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan eksterna.
(Betz, 2002 : 197).
9.      Penatalaksanaan
Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut :
a.      Prosedur Duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.
b.      Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dibatasi.
c.       Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
d.      Intervensi bedah
Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.
1)      Persiapan prabedah
a)      Lavase kolon
b)      Antibiotika
c)      Infuse intravena
d)     Tuba nasogastrik
e)      Perawatan prabedah rutin
f)       Pelaksanaan pasca bedah
·         Perawatan luka kolostomi
·         Perawatan kolostomi
·         Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan suhu.
·         Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima. Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan bagaimana memakaikan kantong kolostomi.
(Betz, 2002 : 198)





B. ASUHAN KEPERAWATAN HIRSPRUNG
1.      Pengkajian
a.       Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
b.      Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah.
c.       Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
d.      Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
e.       Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.
f.       Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.


g.      Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita Hirschsprung.
h.      Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.
i.        Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
j.        Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
Pemeriksaan Fisik
a.      Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit.
b.      Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
c.       Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.

d.      Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
e.       Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.

2.      Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
a.       Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong.
b.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.
c.       Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
d.      Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Post operasi
a.       Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
b.      Nyeri b/d insisi pembedahan
c.       Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi.



3.      Intervensi Keperawatan
Pre operasi
a.      Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong.
Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi normal, tidak distensi abdomen.
Intervensi :
1)      Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.
Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana selanjutnya
2)      Pantau jumlah cairan kolostomi.
Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian cairan
3)      Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu.
b.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet sesuai kebutuhan secara parenteal atau per oral.

Intervensi :
1)      Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
2)      Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori
3)      Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan
c.       Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi, turgor kulit normal.
Intervensi :
1)      Monitor tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya
2)      Monitor cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
3)      Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi

d.      Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :
1)      Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
2)      Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
3)      Kolaborsi dengan dokter pemberian obat analgesik sesuai program.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf pusat
Post operasi
a.      Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
Tujuan :memberikan perawatan perbaikan kulit setelah dilakukan operasi
1)      kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.
2)      Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
3)      Oleskan krim jika perlu.
b.      Nyeri b/d insisi pembedahan
Tujuan :Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
1)      Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
2)      Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung dansentuhan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
3)      Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila dimungkinkan.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf pusat
c.       Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi.
Tujuan : pengetahuan keluarga pasien tentang cara menangani kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi tambah adekuat.
Intervensi :
1)      Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi yang dialami perawatan di rumah dan pengobatan.
2)      Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan dan perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.
3)      Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.
4)      Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.
5)      Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan supervisi saat orang tua melakukan perawatan ostomi.
  1. Evaluasi
Pre operasi Hirschsprung
a.       Pola eliminasi berfungsi normal
b.      Kebutuhan nutrisi terpenuhi
c.       Kebutuhan cairan dapat terpenuhi
d.      Nyeri pada abdomen teratasi
Post operasi Hirschsprung
a.       Integritas kulit lebih baik
b.      Nyeri berkurang atau hilang
c.       Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan terutama pembedahan kolon







BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.
B.     SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit hsaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.





DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta : EGC.
Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^. Jakarta : EGC
Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 . Jakarta : FKUI .
Mansjoer , Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran .Edisi Ke-3 . Jakarta : Media Aesulapius FKUI